Jumat, 13 Februari 2009

manekin

*cerpen ini dimuat di Majalah Sastra Horison edisi Februari 2009. Taktaktakdungdung...(nyanyi-nyanyi geje)

MANEKIN

Anak kecil berponi jelek itu memandang kucing yang memandang lelaki tua yang memandang tiang yang memandang anjing yang memandangku berdiri di etalase toko baju pengantin “The wEdding”. Aku benci caranya meneteskan liur sepanjang waktu sambil mengamati baju pengantin putih berenda ungu rancangan Ivo Harimurti yang kukenakan dengan anggun. Ia sudah lama di sana, anjing brengsek itu, dan belum beranjak sedikitpun, benar-benar membuatku kesal. Aku biasa dipandangi orang, rata-rata dengan tatapan kagum, tapi sungguh aku benci dipandang anjing. Rasanya harga diriku menurun.

Sedangkan, pemilik toko dan para karyawannya yang tak seberapa itu, sedang berbenah di lantai bawah. Suara mereka berisik sekali. Banyak barang yang jatuh dan menimbulkan debam keras, banyak yang berteriak, banyak yang berlarian, banyak yang keluar masuk toko, sepertinya benar-benar akan merombak toko. Sebenarnya, jika ingin merombak, perbaiki dulu etalase toko yang kutempati ini. Kacanya sudah sangat berdebu, agak mengganggu penglihatanku soalnya. Lalu atap etalase ini juga mulai bocor, tetesan air hujan mengenai lenganku dan membuatnya mengelupas di sana-sini. Yang lebih parah, mereka mulai lupa membersihkanku. Ada banyak debu yang menempel dan membuat risih bukan main. Menodai kecantikanku.

“Mana pesanannya?”teriak seseorang dari lantai bawah. Suaranya tegas dan berwibawa. Itu pastilah Ibu Diana, owner toko ini. Kukira ia sedang memesan bahan kain lagi, karena kalau sudah mulai bulan Mei, akan banyak pesanan menanti. Dan bahan yang dipakai, bukan kain sembarangan, harus yang benar-benar bagus dan mahal. Itulah mengapa gaun pengantin rancangan toko ini harganya mahal sekali, karena kualitasnya nomor satu. Beberapa rancangan desainer kenamaan, seperti gaun yang kupakai ini. Tapi, kalau boleh jujur, gaun yang kupakai ini imitasi. Bukan dari bahan mahal, tapi dibuat seperti yang mahal. Mereka hanya memasangkan yang asli padaku jika ada pameran, dan kukatakan rasanya sangat nyaman, gaun asli membuatku 10 kali merasa lebih cantik, ditambah wig rambut berwarna merah kecoklatan bergelombang dan sepatu indah…..ahh aku jadi ingin mengulang hal itu lagi. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku jarang dipakai dalam pameran. Mereka hanya menempatkanku di sini saja, di etalase ini. Benar-benar membosankan.

Iya, sangat membosankan. Yang aku lihat hanya jalan raya, binatang, mobil, motor, dan manusia. Mereka seperti film yang terus diputar, contohnya anak kecil berponi jelek itu. Kukira namanya Lusi, karena sering ada yang meneriakkan namanya. Dia pengamen yang sedikit badung. Jarang bekerja, dan kesukaannya hanya mengamati kucing. Kucing yang diamatinya juga aneh, dia bisa diam di satu tempat hingga sangat lama, memperhatikan seseorang, seseorang seperti lelaki tua bernama John, salah satu teman Bu Diana yang pekerjaannya hanya membaca koran sambil berdiri di tepi jalan atau mengamati satu demi satu brosur-brosur yang ditempel tak beraturan di tiang-tiang pinggir jalan.

Yang paling baru adalah anjing itu. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Bukan jenis anjing yang kutahu. Warnanya kecoklatan, ekornya kecil dan bergerak-gerak sepanjang waktu. Matanya besar dan berair seperti menangis, bahkan jika kau lihat dari jauh, kau tak akan suka. Dua kali benci jika dia terus melihatmu. Menjijikkan. Sangat menjijikkan.

Seakan-akan bisa membaca pikiranku, anjing itu mulai beranjak pergi. Ia menoleh ke kiri dan kanan lalu berjalan mendekati tiang. Aku nyaris kegirangan sebelum ia mulai mengencingi tiang itu. Lelaki tua yang berdiri di samping tiang itu menjerit. Ia memeriksa celananya apa kena kencing itu anjing. Lalu lelaki tua itu mengumpat, mengangkat kakinya dan mulai menendangi anjing itu. Anjing itu menggongong cukup keras, mencoba menakut-nakuti lelaki tua yang malah melempari anjing itu dengan batu. Beberapa orang menoleh melihat pertengkaran mereka, tapi hanya anak kecil berponi jelek itu yang mendekat dan menarik-narik kemeja lelaki tua itu. Mereka bertiga bergumul. Si kecil berponi jelek ingin Pak Tua supaya menghentikan aksinya, dan anjing itu merasa kesal bukan main. Ia terus meyalak keras. Kucing yang di dekatnya sampai gemetaran, bulunya tegak berdiri, tapi ia tak beranjak dari tempatnya. Kukira lelaki tua itu akan reda emosinya, tapi nampaknya John bukan orang macam itu. Bu Diana pernah bilang pada salah satu karyawannya bahwa John itu tipe orang yang gemar memancing masalah. Itu karena ia lama menganggur, tak tahu harus berbuat apa. Kupikir Bu Diana benar juga.

John menepis tangan si kecil berponi jelek dan mulai menginjak-injak anjing itu lagi. Si anjing mencoba menggigit kaki John, tapi selalu bisa John tepis. Lalu adegan berikutnya berlangsung cepat sekali. Tiba-tiba saja gigi anjing itu sudah berada di paha kanan John, yang menjerit luar biasa kerasnya, si kecil berponi jelek juga menjerit, dan segera dikibaskannya pahanya, ia menarik kuat-kuat si anjing yang menggigit sangat kuat. Beberapa orang berdatangan dan mencoba membantu John, salah satu-entah bagaimana caranya- berhasil melepaskan anjing itu dari paha John. Terlihatlah darah dan daging miliknya. John menjerit, marah luar biasa. Orang-orang menenangkannya. Anjing yang menggigitnya masih menyalak keras. Dibakar amarah, John-dengan tertatih-tatih- mengambil batu besar dan melemparkannya pada si anjing yang malangnya tepat mengenai kakinya. Ia kesakitan.

Lalu John memanfaatkan kesempatan itu dan segera menarik si anjing lalu melemparkannya ke jalan raya. Anak kecil berponi jelek menjerit luar biasa kerasnya. Anjing itu mendarat tepat di tengah jalan raya. Sebuah pick up terbuka yang sedang melaju, kaget melihat anjing itu sehingga ia mengerem tiba-tiba, merubah haluan ke kanan. Mobil sedan di belakangnya menabrak bagian belakang Pick Up. Dan dibelakang sedan itu, beberapa motor juga saling bertabrakan. Beruntun, seperti kartu domino. Seakan belum terlalu malang, sebuah truk berukuran sedang dari arah yang berlawanan menabrak bagian depan Pick Up tersebut dengan cukup keras, menyebabkan Pick Up itu terjerembab dan oleng. Ia jatuh miring,barang-barang bawaan Pick Up itu berjatuhan dan berhamburan di jalan raya. Sesuatu yang sebesar manusia, sebesarku, terbungkus kain hitam juga ikut jatuh dan menggelinding di jalan, dekat The Wedding. Orang-orang toko, termasuk Bu Diana, belarian ke luar toko.

Mendapati Pick Up itu, ia menjerit. Bu Diana, seakan tak peduli dengan kekacauan lalu lintas di depannya, menyuruh anak buahnya untuk mengangkuti barang-barang yang ternyata sebagian besar adalah pesanan tokonya. Ia nyaris menangis ketika melihat mebel-mebel pesanannya lecet di sana-sini. Lalu Bu Diana segera mendapati hal lainnya, apa yang aku juga amati, sesuatu yang sebesarku dan dibungkus kain hitam itu. Bu Diana membuka kain hitam itu dengan amat pelan, dan segera terlihat olehku sebuah manekin yang terlihat masih sangat baru dan cantik. Sayangnya bagian lengan manekin itu retak parah karena terbentur jalan raya. Aku tahu, manekin seperti itu tak akan terpakai lagi. Bu Diana mengatupkan tangannya di muka. Lalu ia berdiri. Pandangannya beredar ke kejadian ganjil di depannya, sudah tak ada anjing yang menjadi penyebab kecelakaan ini. Si anjing sudah berlari pergi dengan kaki terpincang-pincang. Bu Diana kembali mengamati manekin rusak itu lagi, dan pandangannya tiba-tiba mengarah padaku, yang berdiri di etalase toko dan menjadi saksi bisu atas semua kejadian itu. Diam-diam aku paham, dan entah kenapa aku ingin tersenyum. Hari ini hari yang indah.


3 komentar:

  1. coment pertama berhadiah lap top

    BalasHapus
  2. wow! bagus banget ka ..
    serius.
    pantes masuk majalah horizon ..
    typ kata yang kaka rangkai ngbuat ak pengen lanjut ke kata berikutnya .. :)
    mav ya baru main lagi k blog ini ..

    BalasHapus
  3. lamo aku ga liad blogku..
    uda lwamaaaaaaaaaaa bgt aku ga pernah urusin
    kalo bole tau?ini sapa yaa?ko bisa nemu aku di blogna si atal,
    apa ini christian simamora?^^

    BalasHapus