Aku dan Mauren berjalan seperti sepasang kekasih di trotoar jalan sepanjang Malioboro. Kami bergandengan tangan, dan sesekali ia menyelipkan lengannya di lenganku. Kadang-kadang kami berhenti bila menemukan pemandangan yang bagus, karena Mauren akan mulai melonjak-lonjak kegirangan dan mengeluarkan kamera digitalnya. Aku selalu patuh bila ia meyuruhku bergaya “narsis”, “jelek” “cemberut” “monyong” atau “tersenyum”. Aku selalu menuruti maunya, tanpa mengeluh. Karena di saat berpoto itulah, aku dan Mauren bisa saling berdekatan. Kadang dengan pipi saling menempel, dan aku bisa merasakan bau nafasnya, parfumnya, dan aroma buah di bibirnya.
Setelah bosan mengambil foto dan berjanji memasangnya di friendster, ia akan mulai merengek-rengek minta makan. Apalagi jika sudah mulai jam
Setelah kenyang, ia akan mencari tempat di antara kerumunan orang, tempat dimana langit senja terlihat lebih menawan, lebih oranye dan merah. Lalu ia akan menarik karet rambutnya, membiarkan rambut keriting panjangnya tergerai lembut di bahunya. Dan aku akan terpana. Terpana lama sekali. Bersama-sama, ia memintaku menjulurkan tangan ke atas, ke arah langit dan berteriak. Tanpa malu.
Setelah matahari menghilang, maka Mauren pun mulai menghilang. Tidak ada keceriaan lagi, tidak ada melompat, berlari, dan berpoto. Ia akan mencari sudut yang sepi, duduk berjongkok dan menangis dalam lengannya. Saat itulah aku mulai memeluknya dan mendengarkan ia bercerita. Membasuh air matanya, menatap wajahnya lekat-lekat, dan bernyanyi untuknya. Tapi ia selalu menangis lama sekali. Dan aku tahu semua penyebabnya. Jarak. Selalu soal jarak. Soal perbedaan alam yang memisahkan dirinya dengan cintanya. Dengan kakakku.
Bila ia sudah lelah menangis, ia akan mulai beranjak pulang, dan aku menemaninya sampai ke rumah. Di sepanjang perjalanan, ia selalu berada di depanku. Tanpa kata. Dan aku hanya bisa melihat punggungnya yang kadang bergetar, isak tertahannya, dan rambutnya yang tergerai.
Di akhir perjalanan, ia akan berhenti 3 langkah sebelum mencapai pagar rumahnya. Menahan isaknya, dan dengan bibir yang bergetar ia mengeluarkan amplop biru muda dari jaketnya, menyerahkannya padaku. “Berikan pada Adam” katanya. Dan aku hanya bisa mengangguk, walaupun gelombang tidak menyenangkan mulai mengaliriku. Tapi gelombang itu tersapu seiring senyum yang mengembang di wajahnya. Hanya itu senyum yang tersisa di dirinya setelah matahari terbenam. Lalu tanpa kata-kata dan lambaian tangan, ia mulai masuk rumah. Seperti biasa, beberapa tetangga mengintip dari jendela, melongok padaku dengan tatapan iba. Lalu Ibu Mauren akan datang menghampiriku tidak lama kemudian, memberikan bungkusan yang biasanya berupa biskuit atau roti. Ia mengucapkan berkali-kali terimakasih, maaf, dan mengusap tanganku dengan tangannya yang lembut.
Setelah itu, aku pulang. Aku memutuskan untuk berjalan mundur selama 25 langkah, jumlah yang sama selama pergi bersama Mauren. Di perjalanan, aku akan mengeluarkan amplop biru muda itu, menatapnya dengan sendu, mengeluarkan korek api, dan mulai membakarnya hingga jadi abu. Tak akan ada
Karena aku senang pergi dengan Mauren. Walaupun harus setiap hari. Tapi kata Dokter, terapi hanya dibutuhkan sekali dalam sebulan. Itu mungkin cukup untuk mengobati traumanya. Tapi tak cukup untukku. Aku beharap lebih banyak Mauren di hidupku, walaupun dengan kencan tipuan seperti yang ia lakukan dengan kakakku. Aku ingin ada ratusan langkah mundur sehabis mengantarnya pulang. Aku ingin Mauren.