Senin, 15 Desember 2008

MAUREN

~cerpen ini dimuat di majalah sastra Horison edisi September 2008. Cerpen pertama yang gw kirim. Diulas sama Pak Jamal D. Rahman. Dan sejujurnya...gw ga pernah puas ama cerita ini. Ga Pernah. Terlebih, waktu gw kirim ke salah satu teman dan dia bilang "Maaf, tapi cewek saya lebih jago sastra-nya". Wow...sastra tidak melulu penuh metafora kawan. Tapi makasyong, lo ngebuka mata gw...~

MAUREN


Aku dan Mauren berjalan seperti sepasang kekasih di trotoar jalan sepanjang Malioboro. Kami bergandengan tangan, dan sesekali ia menyelipkan lengannya di lenganku. Kadang-kadang kami berhenti bila menemukan pemandangan yang bagus, karena Mauren akan mulai melonjak-lonjak kegirangan dan mengeluarkan kamera digitalnya. Aku selalu patuh bila ia meyuruhku bergaya “narsis”, “jelek” “cemberut” “monyong” atau “tersenyum”. Aku selalu menuruti maunya, tanpa mengeluh. Karena di saat berpoto itulah, aku dan Mauren bisa saling berdekatan. Kadang dengan pipi saling menempel, dan aku bisa merasakan bau nafasnya, parfumnya, dan aroma buah di bibirnya.

Setelah bosan mengambil foto dan berjanji memasangnya di friendster, ia akan mulai merengek-rengek minta makan. Apalagi jika sudah mulai jam lima sore. Ia akan menarikku, berjalan kaki sampai ketemu warung yang tampaknya nyaman dan enak. Ia tidak pernah memaksaku ke restoran atau ke tempat-tempat yang nampaknya mahal. Aku nampak tak punya apa-apa untuk ukuran anak SMA, tapi aku selalu memaksa membayari makanannya. Dan aku berterimakasih atas ijinnya membuatku terlihat seperti pahlawan.

Setelah kenyang, ia akan mencari tempat di antara kerumunan orang, tempat dimana langit senja terlihat lebih menawan, lebih oranye dan merah. Lalu ia akan menarik karet rambutnya, membiarkan rambut keriting panjangnya tergerai lembut di bahunya. Dan aku akan terpana. Terpana lama sekali. Bersama-sama, ia memintaku menjulurkan tangan ke atas, ke arah langit dan berteriak. Tanpa malu.

Setelah matahari menghilang, maka Mauren pun mulai menghilang. Tidak ada keceriaan lagi, tidak ada melompat, berlari, dan berpoto. Ia akan mencari sudut yang sepi, duduk berjongkok dan menangis dalam lengannya. Saat itulah aku mulai memeluknya dan mendengarkan ia bercerita. Membasuh air matanya, menatap wajahnya lekat-lekat, dan bernyanyi untuknya. Tapi ia selalu menangis lama sekali. Dan aku tahu semua penyebabnya. Jarak. Selalu soal jarak. Soal perbedaan alam yang memisahkan dirinya dengan cintanya. Dengan kakakku.

Bila ia sudah lelah menangis, ia akan mulai beranjak pulang, dan aku menemaninya sampai ke rumah. Di sepanjang perjalanan, ia selalu berada di depanku. Tanpa kata. Dan aku hanya bisa melihat punggungnya yang kadang bergetar, isak tertahannya, dan rambutnya yang tergerai.

Di akhir perjalanan, ia akan berhenti 3 langkah sebelum mencapai pagar rumahnya. Menahan isaknya, dan dengan bibir yang bergetar ia mengeluarkan amplop biru muda dari jaketnya, menyerahkannya padaku. “Berikan pada Adam” katanya. Dan aku hanya bisa mengangguk, walaupun gelombang tidak menyenangkan mulai mengaliriku. Tapi gelombang itu tersapu seiring senyum yang mengembang di wajahnya. Hanya itu senyum yang tersisa di dirinya setelah matahari terbenam. Lalu tanpa kata-kata dan lambaian tangan, ia mulai masuk rumah. Seperti biasa, beberapa tetangga mengintip dari jendela, melongok padaku dengan tatapan iba. Lalu Ibu Mauren akan datang menghampiriku tidak lama kemudian, memberikan bungkusan yang biasanya berupa biskuit atau roti. Ia mengucapkan berkali-kali terimakasih, maaf, dan mengusap tanganku dengan tangannya yang lembut.

Setelah itu, aku pulang. Aku memutuskan untuk berjalan mundur selama 25 langkah, jumlah yang sama selama pergi bersama Mauren. Di perjalanan, aku akan mengeluarkan amplop biru muda itu, menatapnya dengan sendu, mengeluarkan korek api, dan mulai membakarnya hingga jadi abu. Tak akan ada surat untuk Adam. Tak pernah.

Karena aku senang pergi dengan Mauren. Walaupun harus setiap hari. Tapi kata Dokter, terapi hanya dibutuhkan sekali dalam sebulan. Itu mungkin cukup untuk mengobati traumanya. Tapi tak cukup untukku. Aku beharap lebih banyak Mauren di hidupku, walaupun dengan kencan tipuan seperti yang ia lakukan dengan kakakku. Aku ingin ada ratusan langkah mundur sehabis mengantarnya pulang. Aku ingin Mauren.

menyapa

Namamu Nia. Panggilan akrabmu di dunia maya, Haylee. Tapi apa aku mengenalmu? Ya, tentu saja. Aku memahamimu lebih dari yang aku bisa bayangkan, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Dari tingkah lakumu di sekolah, tulisan yang kau tuangkan di Blog, sampai eksistensimu di berbagai forum internet. Aku tahu kamu, seberapa menyenangkannya dirimu, bahkan mungkin lebih dari yang kamu sadari. Tapi kamu, tidak tahu aku ada.

Melihatmu di Masjid itu, di balik kerudung hijau paris tua, dengan laptop di pangkuan. Berjam-jam di sana, kadang diam-diam memotret siapa saja dengan webcam laptop, atau kamera HP mu. Entah maumu apa, tapi aku tahu kamu menikmatinya sebesar kenikmatan yang aku rasakan saat mengamatimu. Saat ini misalnya.

Ketika melihatmu, aku seperti seorang dubber kartun anak-anak yang sedang bernarator… “Hari ini si kecil Nia sedang duduk asyik di lantai Masjid dengan laptop kesayangannya…”

Aku terus bernarasi dalam hati sambil terus mengawasimu. Kadang geli sendiri dengan ulahmu yang tampak bosan dan kepayahan. Kamu mungkin bosan sendiri, ingin memiliki teman di sampingmu, atau berusaha sepenuh hati menikmati kesendirianmu dengan cara apapun. Aku juga menyukai kesendirianmu, tentu saja. Itu memberi keleluasaan lebih bagiku.

Tunggu, apa aku tampak menjijikkan sekarang?

Apa aku seperti penguntit sekarang?

Duduk semeter darimu dengan laptop merek Toshiba di atas lantai, melirik ke sekeliling dengan wajah menguap dibuat-buat. Itulah aku.

Menunggu perkembanganmu di dunia maya. Entry baru di blogmu. Pergerakan apa saja yang bisa aku pantau. Sekaligus menunggu keberanian diri sendiri untuk menyapamu, seperti mengetik sesuatu sebagai entry blog baru ini misalnya.

Ah tinggal tekan “terbitkan entry” ini saja.

Menyapamu di blog.

Selesai.

Hayleenia…



~~OOS *out of story*>> Yang bilang cerpen saya kependekan, ga maksud, absurd, whateverlah..silahkan temui saya di kebun belakang sekolah *berasa kembali jadi preman es-de nih ah. Oh Please....komen yang benar...

Minggu, 14 Desember 2008

VENTILASI

Bagaimana membuat ruangan tanpa pintu, jendela, dan celah kecil apapun tanpa membuat kita sesak di dalamnya? Agar kita bisa berbicara, berpelukan, tertawa, dan menangis tanpa harus mati karena kehabisan napas? Bagaimana agar ruangan itu bisa segera dibuat…agar kau selamanya tidak akan pernah keluar dari ruangan itu?

Ah, mari bayangkan. Kau dan aku. Duduk di atas sofa merah maroon satu-satunya, menyiapkan banyak sekali tabung oksigen, tak ada meja, hanya pemutar musik klasik, satu lampu gantung yang terangnya mampu memenuhi semua ruangan, persediaan makanan untuk setahun, kamar mandi mini, sudah. Lalu kita duduk di atas sofa, sementara tukang-tukang yang mampu bekerja super cepat, yang konon dapat membedah rumah hanya dalam waktu 12 jam itu mulai membangun dinding 4 sisi di sekitar kita. Hanya sebuah ruang kecil, tak akan memakan banyak waktu. Lalu kita mulai sedikit berlindung saat mereka membuat atapnya. Tukang-tukang yang sudah selesai membuat ruangan kecil persegi putih kita pun perlahan naik tangga panjang, keluar dari celah atap ruangan, lalu menutup celah itu dari luar, dengan batu bata…

Dan kita menunggu di dalam. Setahun. Bercengkerama tanpa henti, memakan coklat dan coklat dan coklat terus. Sesekali mungkin ke kamar mandi, tidur sejenak, lalu kita mulai bicara lagi tanpa henti. Tak boleh bosan, karena kau tak akan bisa pergi keluar, tak ada celah bagimu. Disini selamanya. Setahun. Waktu maksimal yang paling rasional bisa kutempuh.

Mungkinkah itu, sayangku?

Setahun…dan aku akan suruh orang untuk menghancurkan ruangan itu. Aku akan membebaskanmu, bukan hanya dari ruangan itu, tapi juga dari diriku. Selamanya.

Dan aku pastikan tidak akan mengganggumu lagi dengan keluhan, pikiran konyol, dan lelucon menyedihkan milikku. Kau akan sepenuhnya bebas.

“Ken…”

Ken tersentak. Ditutupnya alam pikiran ngawurnya lekas-lekas, memasang tampang wajar.

“Iya Dok?”

“Sudah siap kan?” Dokter itu tersenyum, memandang gadis belia yang sudah botak rambutnya habis dimakan sakit.

Ken mengangguk. Ia segera berbaring, tersenyum mengingat gagasannya soal ruang tanpa ventilasi tadi, lalu memejamkan mata. Beberapa orang kemudian datang, menjalankan tempat ia berbaring, menggiringnya masuk sebuah ruangan dengan bau yang sangat ia benci.

FANTASI

Yang aku inginkan bukanlah duduk dengan siku bersentuhan dan nafas yang bisa dirasakan satu sama lain, aku ingin bisa menikmatimu seutuhnya dari jauh. Cintaku tak hanya sebatas punggung, mata, hidung, rambut, pakaian atau sepasang sepatumu. Cintaku meliputi setiap sudut tubuhmu, yang bisa kukecap dengan segala indera yang kumiliki. Dengan fantasiku.


Aku berdiri jauh darimu. Membayangkan badan bagian atasku dapat memanjang, mendekat ke arahmu, menyentuhmu…


Pertama, akan kuciumi bau pakaian –mungkin kemeja biru muda- yang menutupi punggungmu yang lebar…

Kedua, akan kuhayati bau rambutmu. Mungkin bau mint segar yang maskulin…

Ketiga, akan kubalikkan badanmu, sehingga wajah kita bertatapan…


Matamu mungkin berwarna coklat muda, hidungmu tidak begitu besar, bibirmu kecil dan selalu tersenyum…


Mungkin.


Telingamu besar, bahumu lebar (dan inilah satu-satunya yang kusadar benar karena hanya itulah yang bisa kurasakan saat kita bertubrukan kali pertama), dan aroma tubuhmu..aroma yang ingin bisa kuhirup selamanya, hingga kadang aku berpikir untuk tak menghela nafas agar bau itu tidak terkontaminasi aroma yang lain dan akhirnya hilang.


Aku ingin menyimpan aromamu.


Ah, aku merasakan kehadiranmu. Mendekat. Suaramu yang renyah, cekikikan kawan-kawan tercintamu. Kau memang pintar berlelucon.


Mendekat. Mendekat. Mendekat.


Sedikit lagi, aku bisa merasakan aromamu. Mungkin aku bisa bertubrukan kali kedua denganmu.

Mendekat. Mendekat. Mendekat.


Bruk.


“Minggir donk Mbak…nggak lihat orang mau lewat?” Seorang wanita menabrak bahuku dengan cukup keras. Ia diam beberapa saat, beberapa orang yang lain membisikkan sesuatu padanya. “Oh..maaf…” Ia kemudian pergi meninggalkan amarahnya.


Tapi amarahku ganti datang. Laki-laki itu sudah lenyap. Aromanya sudah tak mungkin kucium lagi. Aku mendengus sebal, aku sudah menunggu di sini selama dua jam!


Perlahan kucari tongkat yang tadi kusenderkan dekat gerbang tempat kursus Bahasa Asing ini. Kuraba hingga kudapatkan tongkat itu. Lalu, masih dalam kekecewaan mendalam, aku memutar arah kembali ke rumah. Aku sudah hapal rute ke tempat ini. Hanya aku harus bertanya dengan benar tentang jam yang tepat, agar aku tak menunggu lelaki berpunggung lebar ini dua jam lebih awal dari seharusnya.

Kamis, 11 Desember 2008

intro~

well well oh well...

hahah, bingung nih mau ngetik apaan

bisa dipastikan karya yang sebagian besar nya cerpen PENDEK ini *hoyoh, entry gw di blog pribadi mah jauh lebih ekstrem panjangnya* adalah karya orisinil gw yang dibuat dengan pemikiran mendalam selama beberapa menit sajah. Hahah...

kalo lagi mood, apa aja hayok...eh tinggalin JEJAK yah! tinggalin komen, apapun ituh...

gw berusaha konsisten dengan hal tulis-menulis nih, bantu gw bertahan yaaa

eh, jangan kaget, gw kalo nulis cerpen hampir ga pernah ada lucu-lucunya, lagian emang ga pinter ngelawak sih. Enjoy it.