Minggu, 14 Desember 2008

VENTILASI

Bagaimana membuat ruangan tanpa pintu, jendela, dan celah kecil apapun tanpa membuat kita sesak di dalamnya? Agar kita bisa berbicara, berpelukan, tertawa, dan menangis tanpa harus mati karena kehabisan napas? Bagaimana agar ruangan itu bisa segera dibuat…agar kau selamanya tidak akan pernah keluar dari ruangan itu?

Ah, mari bayangkan. Kau dan aku. Duduk di atas sofa merah maroon satu-satunya, menyiapkan banyak sekali tabung oksigen, tak ada meja, hanya pemutar musik klasik, satu lampu gantung yang terangnya mampu memenuhi semua ruangan, persediaan makanan untuk setahun, kamar mandi mini, sudah. Lalu kita duduk di atas sofa, sementara tukang-tukang yang mampu bekerja super cepat, yang konon dapat membedah rumah hanya dalam waktu 12 jam itu mulai membangun dinding 4 sisi di sekitar kita. Hanya sebuah ruang kecil, tak akan memakan banyak waktu. Lalu kita mulai sedikit berlindung saat mereka membuat atapnya. Tukang-tukang yang sudah selesai membuat ruangan kecil persegi putih kita pun perlahan naik tangga panjang, keluar dari celah atap ruangan, lalu menutup celah itu dari luar, dengan batu bata…

Dan kita menunggu di dalam. Setahun. Bercengkerama tanpa henti, memakan coklat dan coklat dan coklat terus. Sesekali mungkin ke kamar mandi, tidur sejenak, lalu kita mulai bicara lagi tanpa henti. Tak boleh bosan, karena kau tak akan bisa pergi keluar, tak ada celah bagimu. Disini selamanya. Setahun. Waktu maksimal yang paling rasional bisa kutempuh.

Mungkinkah itu, sayangku?

Setahun…dan aku akan suruh orang untuk menghancurkan ruangan itu. Aku akan membebaskanmu, bukan hanya dari ruangan itu, tapi juga dari diriku. Selamanya.

Dan aku pastikan tidak akan mengganggumu lagi dengan keluhan, pikiran konyol, dan lelucon menyedihkan milikku. Kau akan sepenuhnya bebas.

“Ken…”

Ken tersentak. Ditutupnya alam pikiran ngawurnya lekas-lekas, memasang tampang wajar.

“Iya Dok?”

“Sudah siap kan?” Dokter itu tersenyum, memandang gadis belia yang sudah botak rambutnya habis dimakan sakit.

Ken mengangguk. Ia segera berbaring, tersenyum mengingat gagasannya soal ruang tanpa ventilasi tadi, lalu memejamkan mata. Beberapa orang kemudian datang, menjalankan tempat ia berbaring, menggiringnya masuk sebuah ruangan dengan bau yang sangat ia benci.

6 komentar:

  1. hmmm, bagusss....
    tapi aku gak ngerti maksudna...=(

    BalasHapus
  2. ssi, aku kok jadi teringat drama kamu bareng anak2 bahasa yang dibimbing mas levi itu ya...? itu lho yang kamu pake baju putih2, terus kamu berkata seperti ini di drama itu... "Terus... kenapa baju kita sama?"

    BalasHapus
  3. yang judulnya isolasi ituh? nyaaah...sama dari mananya non?

    itu kan ceritanya kita semua, anak2 berbaju putih, tiba2 terbangun di sebuah ruang gelap. Orang2 yang sama sekali ga tau satu sama lain, ga tau alasan mereka di situ, kaya film SAW II gitu deh...

    wah, jadi kangeeeeeen teater-an pas SMA..

    BalasHapus
  4. Iya... aq masih pengen belajar mentasin puisi... tapi ortuku anti teater ssi T_T

    *ya ampun, januari abis gini, it means guru kesayanganku mo ultah, duuuh belum buatin puisi....*

    BalasHapus
  5. gu-ru ke-sa-ya-ngan?

    daku mikir luama....emangnya gw punya guru kesayangan ye? DI mata gw semua guru sama tuh... ah apa Bu Oris?

    Arrrrgh, jawab, sapa guru kesayangankuuuuh?
    *kok malah balik tanya*


    WUOI! KOMENTARIN CERPEN SAYAH, jangan ajak obrol di sini...

    BalasHapus
  6. ya, ya, ya, aku ngerti. gini ssi, sisi kesamaan antara ventilasi dan isolasi itu letaknya disini: sebuah ruangan yang nggak ada pintunya, nggak ada jendelanya, nggak ada celahnya sedikitpun. Emang sih merinding ngebayangin kalo harus terjebak di ruangan model gitu, tapi ketakutan itu jika dikaryakan dengan berbagai sentuhan pribadi malah bisa menjadi sesuatu yang menarik untuk disimak *bu retno mode on*


    guru kesayanganku emang banyak, tapi yang rajin aku kirimin puisi cuma satu: BU RUSNA. belum lupa kan sama beliau?

    BalasHapus